hide
Kabar Neraca Ruang

KABAR

Seruan Salemba Kedua Bebaskan Indonesia dari Gelap

Seruan Salemba Kedua Bebaskan Indonesia dari Gelap

Ikatan Alumni STF Driyarkara, 28/02/25, 15:22 WIB

Selamat Jalan Mba Irna Gustiawati

Selamat Jalan Mba Irna Gustiawati

Neraca Ruang, 31/10/24, 11:58 WIB

Mundurnya Petinggi OIKN

Mundurnya Petinggi OIKN

Nelly Agustina, 07/06/24, 17:09 WIB

Jurnal Necara Ruang

JURNAL

SOLIDARITAS AKAL SEHAT

SOLIDARITAS AKAL SEHAT

Jilal Mardhani, 21/05/25, 13:40 WIB

Tahun lalu, GOTO masih rugi Rp 5.5 triliun. Jauh membaik dibanding Rp 90,5 triliun yang mereka bukukan setahun sebelumnya (2023). Jadi, hingga 31 Desember 2024 kemarin, kerugiannya ‘hanya’ terakumulasi hingga Rp 214 triliun.
Artinya, kinerja keuangan perusahaan rintisan Nadiem Makarim yang kemudian turut mengantarkannya jadi Menteri Pendidikan RI 2019-2024 itu, sudah mulai menjanjikan. Tentu saja bagi investor yang percaya sekaligus mendukung gagasan ‘disruptif’ yang disodorkannya. Hal yang kemudian dikembangkan sebagai suatu business platform yang kini telah terbukti mewarnai fenomena zaman.
Disrupsi yang ditawarkan teknologi GOJEK — sebagaimana berbagai platform lain yang memanfaatkan hal serupa seperti TOKOPEDIA yang kemudian hari bergabung dengannya menjadi GOTO — sejatinya dalam rangka menawarkan ‘pelayanan’ lebih baik, lebih mudah, lebih sederhana, lebih menyeluruh, lebih terpadu, sehingga lebih efisien dan juga lebih efektif, terhadap banyak hal sekaligus.
Maka di sana ada peluang ‘kekuasaan’ yang amat menjanjikan sehingga berkemungkinan — bahkan menjadi mudah — untuk terpeleset.
Sebab ia memang berpeluang merengkuh kedua domain yang kerap berseberangan tapi sejatinya saling melengkapi: publik dan privat.
Transportasi adalah pelayanan publik yang merupakan bagian dari kesepakatan konstitusional kita, berbangsa dan bernegara. Tujuannya, agar kebersamaan seluruh penduduk yang bernaung di bawah panji Indonesia, terjamin berlangsung secara adil dan bijaksana. Maka dari itulah pemerintahan terbentuk. Sistem yang berasaskan demokrasi merupakan cara yang kita pilih. Bukan feodalistis apalagi otoriter. Pilihan demokrasi itu kita yakini mampu mengelola dinamika kehidupan di tengah keragaman masyarakat yang terhampar di seluruh negeri.
Maka hukum adalah panglimanya.
Meski begitu, di sana pun ada celah ‘kekuasaan’ yang berpeluang untuk terpeleset maupun dipelesetkan. Jika dan hanya jika prinsip-prinsip dasar akuntabilitas — dengan sengaja maupun tidak — ditelantarkan. Di antaranya menyangkut kewenangan diskresi yang diberikan. Atau kualitas ‘monopoli’ atas kekuasaan yang diamanahkan. Bisa pula karena sistem dan tata kelola pengawasan yang menjauh dari prinsip partisipasi bermakna pemangku-pemangku kepentingannya.
 
Sangat mungkin jika layanan GOJEK terinspirasi oleh UBER. Layanan taksi daring yang pertama kali hadir di San Fransisco, tahun 2009 dulu. Nadiem kemudian mengembangkan gagasan serupa untuk mendisrupsi angkutan ojek. Layanan angkutan umum tak berjadwal informal yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua, sebagai sarananya. Sebelum itu, konon Nadiem sudah memulai dengan semacam jasa call center. Menghubungkan pengguna yang membutuhkan, dengan pengemudi ojek yang bersedia, pada salah satu lingkungan Jakarta Selatan.
Pemikiran mengembangkan layanan daring ojek yang biasanya mangkal di persimpangan jalan masuk lingkungan pemukiman tersebut, tentulah suatu lompatan besar dalam sistem pelayanan transportasi yang ada. Menguak berbagai keterbatasan konvensional yang sebelumnya sulit ter-mampu-kan. Bukan hanya bagi pengguna yang membutuhkan tapi juga untuk penyedia layanannya. Bahkan terhadap PEMERINTAH yang diamanahkan mengurus ketatanegaraan sehingga hak dan kewajiban konstitusi masing-masing pemangku kepentingannya, terselenggara dengan baik. Dalam kapasitas selaku individu maupun kelompok, golongan, badan, dan sebagainya.
Sudah pasti dan jelas sekali, platform usaha seperti Gojek, bakal mampu menciptakan lapangan kerja yang seharusnya memang jadi urusan dan tanggung jawab Negara untuk memastikan ketersediaannya. Disrupsi itu juga akan menggerakkan roda perekonomian berbagai sektor. Utamanya kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah yang sepanjang masa tertatih. Meski mereka merupakan bagian terbesar kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat kita.
Hal yang jauh lebih strategis adalah ‘kemampuan’ yang ditawarkannya. Untuk mengadministrasikan banyak hal yang dulu amat merepotkan. Sehingga ‘terpaksa’ dimasukkan dalam pengkategorian ‘informal’. Semacam ‘ada tapi tiada’. Sebab teknologi yang tersedia untuk mendukung sistem administrasi pemerintahan Negara saat itu, sangat tak memungkinkan untuk menjangkaunya dengan baik. Apalagi sempurna sebagaimana yang dicita-citakan UUD 1945.
 
Maka sungguh menyedihkan ketika pemerintahan yang berkuasa, tak memiliki kemampuan maupun kepatutannya dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Sebaliknya malah cenderung menonjolkan sikap defensif mereka. Keangkuhan atas kekuasaannya. Juga ketidakberdayaan sosok-sosok yang mengampu jabatan terkait dengan urusan tersebut.
Misalnya dalam hal regulasi hingga petunjuk pelaksanaan kegiatan pengangkutan umum. Pada ketentuan yang telah tersedia sejak dahulu kala di republik ini, angkutan umum tak berjadwal seperti taksi, didefinisikan sebagai kendaraan beroda 4 atau lebih. Administrasi pendaftaran usahanya juga hanya dibolehkan melalui badan usaha. Bisa berbentuk perusahaan, koperasi, yayasan dan seterusnya. Tapi bukan perorangan.
Bukankah definisi terkait ketentuan jumlah roda kendaraan, tak semestinya dipertahankan?
Ketentuan itu pastilah dirumuskan pada zaman yang ‘belum mampu membayangkan’, kendaraan roda dua bakal dapat difungsikan sebagai angkutan umum penumpang tak berjadwal.
Begitu pula persyaratan administrasi pendaftaran yang tak memungkinkan dilakukan oleh perorangan. Pada saat ketentuan tersebut disusun, teknologi yang tersedia memang belum memungkinkan kemudahannya.
Lalu mengapa semua itu tak mereka sesuaikan dengan perkembangan zaman yang tak sekedar jauh memudahkan — tapi juga berkemampuan menyelenggarakan disrupsi proses bisnis yang perlu dan harus dilalui, oleh administrator yang mengurusinya?
Pilihan demokrasi kita dalam melakoni kehidupan berbangsa dan bernegara, memang mensyaratkan hukum sebagai panglimanya. Meskipun begitu, segala rumusan ketentuan yang ada, belumlah mencapai kesempurnaan tak terbantahkan sepanjang zaman. Layaknya kitab suci kaum beriman. Sebaliknya, justru selalu terbuka untuk disempurnakan, diperbaiki, bahkan dianulir. Sejalan dengan kodrat ketidaksempurnaan manusia-manusia yang menyusunnya. Pada era ketentuan-ketentuan hukum tersebut dirumuskan.
 
Alih-alih membuka mata hati dan fikiran terhadap kemajuan zaman. Apa yang berlangsung di kalangan ketiga pilar pemerintahan (legislatif, eksekutif, maupun yudikatif) terhadap fenomena peradaban yang menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu, adalah sikap defensif yang berlebih. Seolah ketentuan yang sudah ada sedemikian sempurna bahkan sakral. Sehingga dikesankan sulit bahkan tak mungkin diubah.
Kita dengan mudah menemukan catatan sejarah tentang perdebatan-perdebatannya. Selain soal jumlah roda dan syarat pihak yang boleh mendaftarkan usaha angkutannya, perselisihan pendapat tentang warna plat nomor kendaraan dan pembubuhan nomor registrasi di mesin, juga bertebaran.
Pada masa salah satu ‘killer apps’ yang mampu mendayagunakan perkembangan teknologi zaman itu, mulai merasuki pasar, kita justru kerap dipaparkan aneka kegamangan. Terutama dari kalangan penguasa yang semestinya tak sekedar bersikap ‘arif dan bijaksana’ dalam memaknai dinamika kemasyarakatan yang sedang berlangsung. Tapi juga cerdas dan cekatan menata peluang hingga mengembangkan gagasan, atas segala kemungkinan yang disajikan perkembangan zaman tersebut.
Seandainya ‘keangkuhan kekuasaan’ tak terlalu mendominasi, urusan kemudahan registrasi usaha bagi mitra-mitra GOTO (dan perusahaan sejenis) itu, sebetulnya sangat mungkin terselesaikan dengan mudah. Alih-alih mereka bersyukur terhadap kehadiran ‘wahana digital’ yang mampu turut menyelesaikan, agenda kewajiban yang diamanahkan Negara di pundaknya. Karena mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan mengurangi tingkat pengangguran.
‘Ekonomi pasar’ yang berkelindan bersama layanan daring dalam penyediaan angkutan umum, secara sistematis mampu menyingkirkan pelayanan buruk yang selama ini ‘merepotkan’ masyarakat. Seperti angkot, metromini, dan becak. Mereka bertiga sebelumnya hadir akibat ‘kekosongan’ Negara menunaikan kewajiban. Sedemikian rupa sehingga sulit ditata dan diatur oleh pemerintah sendiri, bukan?
‘Keangkuhan kekuasaan’ pemerintah yang lebih menyibukkan diri terhadap ketentuan usang seperti jumlah roda kendaraan dan legitimasi usaha tadi, justru membuat mereka lupa ‘berterima kasih’.
Bayangkan jika mereka bergegas menyempurnakan, memperbaiki, bahkan mengubah ketentuan hukum usang yang ada. Prinsip dasar demokratisasi keadilan yang sampai hari ini tak tersentuh, mungkin tak bakal mereka abaikan.
Ketentuan pajak kendaraan adalah contoh paling nyata. Dari sudut pandang pelayanan masyarakat, peranan Bluebird dan GOJEK semestinya sama. Tapi mengapa untuk jenis kendaraan yang sama, pajak yang ditanggung berbeda seperti langit dan bumi?
Kendaraan dengan kapasitas silinder 1300 cc yang digunakan Bluebird hanya dikenakan pajak sekitar Rp 300 ribu. Tak sampai 10 persen dari pajak kendaraan yang harus ditanggung pribadi oleh mitra pengemudi GOTO, bukan?
Dengan demikian, apakah Pemerintah ingin memproklamasikan kasta-kasta pengusaha angkutan umum, sehingga lebih berpihak kepada pemodal besar, seperti mereka yang memiliki Bluebird, dibanding sekitar 3 juta mitra pengemudi GOTO yang tergolong Usaha Mikro Kecil dan Menengah?
Belakangan ini, sejumlah politisi giat menyuarakan soal besaran potongan yang dikenakan perusahaan pemilik platform seperti GOTO, kepada mitra pengemudi mereka. Ini sebetulnya paradigma yang teramat keliru. Menunjukkan ketidakcukupan literasinya terhadap teknologi digital yang jadi alas utama persoalan yang dibicarakan.
Bukankah lebih arif dan bijaksana jika politisi yang sejatinya mewakili kepentingan masyarakat itu, mendesak penyempurnaan ketentuan soal kesetaraan berusaha, sehingga eksploitasi satu terhadap lainnya dapat dihindari?
Misalnya dengan mengajukan usul ‘penghasilan dan jumlah jam kerja minimal’. Meski relasinya adalah kemitraan (bukan industri), kreativitas pemerintah menyiasati kewajibannya menegakkan hak konstitusi warga, dalam memanfaatkan kemampuan teknologi yang ada, sangatlah dibutuhkan.
Berkaca pada business practice Bluebird misalnya. Meski dalam relasi industri, kebijakan mereka yang membatasi jumlah jam kerja pengemudi disertai target minimal pendapatan, bisa digunakan sebagai acuan. Teknologi yang digunakan pengusaha platform seperti GOTO hari ini, amat sangat memungkinkan untuk menerapkan Service Level Agreement (Standar Pelayanan Minimum) sesuai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Negara. Terhadap relasi kemitraan bisnis mereka.
Dengan demikian, ‘keadilan dan kesejahteraan’ tetap dapat berlangsung sesuai mekanisme pasar. GOTO dan perusahaan sejenis akan menggunakan segala daya upaya yang hari ini sudah sangat dimungkinkan. Agar eksploitasi berlebih dalam relasi kemitraan dengan para pengusaha UMKM pada platformnya, dapat dihindari.
Sebaliknya, kecenderungan feodalistik maupun otoritarian yang tercermin dari upaya campur tangan, terhadap besaran potongan yang dikenakan pemilik platform, terhadap mitra mereka, tak perlu dilakukan.
 
Sebelum Nadiem diangkat sebagai Menteri Pendidikan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan PPh Final terhadap pengusaha UMKM diturunkan dari 1% ke 0,5 persen. Konon merupakan jalan tengah atas usul 0,25 persen yang semula diajukan Nadiem.
Ketertiban pendataan yang dimungkinkan teknologi GOJEK, amat sangat memudahkan administrasi ‘compliance system’ perpajakan kelompok UMKM yang sebelumnya amat merepotkan pemerintah.
Kita maklumi, ketentuan PPh final bagi pengusaha UMKM tersebut, hanya berlangsung sementara. Hingga batas waktu tertentu atau nilai peredaran usaha maksimal yang ditetapkan.
Bukankah menelisik ‘improvisasi’ praktek PPh Final UMKM terhadap mitra-mitra perusahaan platform seperti GOTO, jauh lebih penting dan perlu dilakukan?
Kenyamanan berusaha hingga kepastian hukum sesuai konstitusi Negara adalah hak seluruh warga Negara. Termasuk investor yang bersedia mengorbankan kekayaannya untuk mewujudkan peluang yang ditawarkan.
Kembali dan tegakkanlah iklim demokrasi Pancasila yang kita cita-citakan. Tentu saja bukan dengan pendekatan populisme semata. Walau popularitas memang jadi bagian tak terpisahkan dari dunia politik.
 

Jilal Mardhani, 21 Mei 2025
 
Tulisan ini pernah di publish dalam akun Jilal Mardhani pada media Facebook
Baca
Valentine Ini, Ganesha Menangis

Valentine Ini, Ganesha Menangis

Jilal Mardhani, 14/02/25, 15:00 WIB

"Sebagai alumni, saya memang pernah diminta -- lalu bersedia -- mencantumkan nama pribadi pada sebuah petisi untuk menyatakan penolakan terhadap Din Syamsuddin. Saat yang bersangkutan 'dicalonkan' menjadi anggota Majelis Wali Amanat, ITB, beberapa waktu lalu.

Faktanya, beliau kemudian terpilih.

Menyatakan pendapat adalah hak pribadi siapa saja. Bahwa kemudian tidak digubris atau kalah suara, adalah satu hal. Jika kemudian yang berlaku, berbeda dengan keberatan yang disampaikan, maka adalah hal lain. Sebagaimana ketika Joko Widodo dan pasangan yang mendampinginya, terpilih memimpin Indonesia tempo hari. Padahal hampir setengah pemilih, tak menghendaki mereka. Tapi sebagai masyarakat yang beradab, menghormati proses demokrasi, dan mematuhi hukum yang berlaku, semua pihak mesti menerima kenyataan tersebut.

Hal yang sangat mengecewakan pada sebagian masyarakat berpendidikan yang mengaku sebagai alumni ITB, nama saya kemudian berulang kali mereka catut. Dilekatkan pada dokumen untuk menyatakan tuntutan. Agar Din Syamsuddin dicopot dari kedudukannya pada Majelis Wali Amanat (MWA-ITB).

Hal itu sungguh tak pantas, menyedihkan, sekaligus memalukan. Apalagi, pada dokumen Siaran Pers tanggal 16 Juli 2020 yang salinannya saya peroleh, ada nama-nama yang sudah tak dicantumkan lagi di sana. Padahal pada dokumen sejenis yang beredar sebelumnya, dan juga tak pernah saya setujui itu, sosok yang kini bekerja di lingkungan Istana Kepresidenan tersebut, namanya masih ada.

Jika penyusun Siaran Pers yang membajak nama saya di sana, bisa melakukan konfirmasi kepada sang pejabat sehingga namanya tak ikut dicantumkan lagi, mengapa hal yang sama tak dilakukan juga kepada diri saya atau yang lain?

Saya menolak Din Syamsuddin ketika akan dicalonkan menjadi anggota Majelis Wali Amanat. Tapi saya tidak pernah dihubungi -- apalagi memberikan persetujuan -- terhadap pernyataan yang meminta MWA ITB dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk segera memberhentikan Prof.Dr. M. Din Syamsuddin sebagai anggota MWA ITB."

 

Narasi di atas, pernah saya sampaikan pada tanggal 24 Juli 2020. Hampir 7 bulan lalu. Diletakkan pada bagian awal tulisan yang berjudul, "Syarif Hidayat dan Ventilator Indonesia".

(lihat https://m.facebook.com/story.php...)

Salah seorang yang mengaku tergabung dengan kelompok alumni yang mencatut nama saya di sana, berkomentar. Bahwa pencantuman yang mereka lakukan telah berdasarkan konfirmasi. Baik secara individual maupun berkelompok. Berdasarkan tahun angkatan saat kuliah atau jurusan masing-masing.

Tentu penjelasan atau sanggahan tersebut tak dapat saya terima. Karena memang tak pernah menyampaikan konfirmasi apapun, kepada siapa pun. Soal persetujuan terhadap isi surat terbuka mereka. Apalagi mengizinkan pencantuman nama saya di sana.

Tapi karena yang bersangkutan mengatakan bahwa sudah memberitahukan teman-temannya yang lain, agar mencabut nama saya pada surat terbuka atau press release itu, saya pun menganggapnya selesai.

Bagaimana pun, mengingat latar belakang pendidikan dan kesamaan almamater kami, saya berasumsi mereka menyadari kesalahan fatal yang memalukan dan tak bermartabat yang telah dilakukannya. Lalu segera memperbaiki jika ada nama-nama lain yang juga mereka catut di sana.

 

Belakangan ini, kelompok alumni yang menyebut diri sebagai Gerakan Anti Radikalisme - Alumni Institut Teknologi Bandung itu, kembali mengundang perhatian. Terkait laporan yang mereka sampaikan kepada KASN. Soal pelanggaran etik terkait dugaan radikalisme yang dilakukan Prof. Din Syamsuddin. Karena yang bersangkutan masih berstatus ASN dan menjadi staf pengajar FISIP, UIN, Jakarta.

Bagi saya, hal yang lebih penting bukan soal lapoan yang mereka sampaikan. Tapi tentang sejumlah nama yang tercantum di sana dan menyebar luas melalui pemberitaan media massa.

Saya kemudian menelisik nama-nama itu. Karena sebagian merupakan teman-teman yang memang saya hubungi untuk turut serta menanda-tangani petisi menolak pemilihan Din Syamsuddin sebagai bagian Majelis Wali Amanat ITB dulu.

Apakah mereka memang menyetujui tudingan terhadap Prof. Din Syamsuddin yang dilaporkan kelompok alumni ITB kepada KASN itu, lalu mengizinkan namanya turut dicantumkan di sana?

Saya kemudian menghubungi satu per satu. Juga meneruskan tautan berita yang melampirkan laporan yang memuat nama mereka.

Dari 7 rekan yang saya hubungi, 6 di antaranya terkejut dan meradang karena tak menyangka nama mereka dicatut di sana. Sementara 1 lainnya, hingga saat tulisan ini dibuat, belum sempat membaca pesan yang saya kirimkan.

 

Saya sungguh sangat kecewa mendapatkan kenyataan tersebut. Tidak pernah menyangka jika mereka demikian tak beretika sehingga begitu mudah menyepelekan pengalaman atas protes yang saya sampaikan hampir 7 bulan lalu itu.

Apakah mereka sudah demikian jumawa terhadap hal yang diyakini, sehingga beranggapan nama-nama yang secara tak beradab dilekatkan di sana, tak akan keberatan dan begitu saja akan memakluminya?

Ini persoalan adat-istiadat yang absurditasnya jauh lebih radikal. Saya tak mampu membayangkan, kekacauan dan kehancuran seperti apa yang bakal terjadi, pada lingkungan yang ditempati alumni-alumni ITB yang berkualitas moral demikian.

Soal pencatutan nama teman sejawat secara serampangan dan tak senonoh ini -- apalagi oleh sekelompok alumni yang sering mengaku diri sebagai putra dan putri terbaik Indonesia -- patut diduga sebagai tanda-tanda serius kesemerawutan bangsa kita.


Mardhani, Jilal -- 14 Februari 2021

Tulisan ini pernah di publish dalam akun Jilal Mardhani pada media Facebook hampir 5 tahun yang lalu

Baca
DILANS Membutuhkan Banyak RT Seperti Riang

DILANS Membutuhkan Banyak RT Seperti Riang

Jilal Mardhani, 03/02/25, 22:13 WIB

Riang, salah seorang ketua RT di kawasan Pluit, menyuarakan protes soal pencaplokan fasilitas umum -- trotoar dan saluran air -- oleh ruko-ruko di jl. Niaga.

Protesnya bukan baru disampaikan kemarin sore. Tapi sudah berlangsung selama 4 tahun belakangan. Hingga akhirnya petugas ketertiban DKI Jakarta mengultimatum para pemilik maupun penghuni ruko-ruko tersebut. Agar secara sukarela dan mandiri, membongkar ruang dan fasilitas publik yang mereka serobot kembali seperti semula dan semestinya.

Karena himbauan sekaligus peringatan tersebut tak diindahkan hingga batas yang diberikan, sejumlah petugas kemudian melakukan pembongkaran. Pada fasilitas trotoar dan saluran air yang telah diserobot ruko-ruko tersebut.

Lalu terjadilah fenomena menarik. Ketika serombongan masyarakat yang menyebut diri bagian dari UMKM yg selama ini mencari nafkah di sana, mengajukan protes keberatan. Alasannya karena mengganggu nafkah sehari-hari mereka.

Cerita saling protes, menyusul langkah pembongkaran oleh aparat pemda DKI Jakarta yang berdasarkan ketentuan tataruang kota, memang sudah semestinya itu, terus berlanjut. Sesuatu yang semakin membuktikan, betapa rendahnya literasi masyarakat di sana tentang ruang dan fasilitas publik. Hal yang semestinya justru perlu mereka jaga dan pelihara bersama. Tak terkecuali para pedagang kecil dan UMKM seperti yang melakukan aksi unjuk rasa kepada RT Riang di Pluit.

Kemiskinan tak boleh jadi alasan untuk dikecualikan dari ketentuan hukum yang sejatinya melindungi kepentingan publik luas.

Maka sikap, langkah, dan aksi pak RT Riang memperjuangkannya -- konon sudah dia lakukan selama 4 tahun belakangan -- patut belaka kita dukung.

Indonesia membutuhkan lebih banyak ketua RT seperti Riang. Apalagi bagi Farhan dan kawan-kawan yang setahun belakangan ini tak pernah jemu menyuarakan hal serupa. Sebagaimana bisa kita saksikan dari belasan, mungkin puluhan, video yang kerap ditayangkan lewat akun media sosial mereka.

Farhan, pegiat Dilans Indonesia (difable dan lansia), tak pernah jemu menyuarakan hal serupa. Soal ruang dan fasilitas publik yang tak terurus dan tak diperlakukan sebagaimana mestinya. Mereka menunggu kesadaran pak RT lain di berbagai kawasan bermasalah yg pernah 'diinspeksinya'. Agar bersuara, bersikap, dan memperjuangkan ruang, fasilitas, maupun pelayanan publik, seperti yang dilakukan pak RT Riang di Jakarta Utara.

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada "Tour De Sumur Bandung Bersama Ketua DPRD Kota Bandung"


Mardhani, Jilal -- 30 Mei 2023

Tulisan ini pernah di publish dalam akun Jilal Mardhani pada media Facebook

 



Baca
Infografis Neraca Ruang

INFOGRAFIS

Video Neraca Ruang

VIDEO

Album Foto Neraca Ruang

ALBUM FOTO

Kota Kita di 2045

Neraca Ruang, 02/02/24, 08:00 WIB

Arisan 6301: Perencanaan Skenario

Neraca Ruang, 18/07/23, 09:06 WIB

Arisan 6301: Pariwisata Nusantara

Neraca Ruang, 25/05/23, 06:30 WIB

Diskusi Neraca Ruang

DISKUSI

Loading...