KABAR
JURNAL
Value Creation dan Planologi
Jilal Mardhani, 18/11/24, 13:00 WIB
Tiga tahun lalu (2016), Baruch Lev dan Feng Gu mempublikasikan buku mereka yang berjudul “The End of Accounting and the Path Forward for Investors and Managers”. Keduanya adalah professor dan associate professor bidang akuntasi dan keuangan di NYU Stern School of Business dan University of Buffalo.
Disana mereka menyimpulkan, para eksekutif perusahaan masa kini tak lagi bersandar pada laporan keuangan untuk memutuskan kebijakan investasinya. Fenomena yang telah berlangsung sejak 2 dekade belakangan. Penyebabnya adalah keterbatasan dalam menyajikan proses “value creation” yang berlangsung pada bisnis yang diwakili oleh laporan keuangan tersebut.
Primadona keputusan investasi yang bersandar pada “value creation” hari ini, tak semata mengacu pada pertumbuhan pendapatan (earning) lagi. Peningkatan basis konsumen justru jauh lebih penting. Hal yang kemudian menjelaskan, fenomena peningkatan aliran investasi pada perusahaan-perusahaan yang malahan sedang membukukan penurunan pendapatan. Laporan keuangan konvensional memang tak mampu menggambarkan, keberadaan maupun peluang nilai-nilai tak berwujud (intangible value) yang sedang digagas, dikembangkan, dan dikelola institusi yang direpresentasikannya.
Investasi hari ini lebih menekankan pada aspek kolaborasi dan ekosistem usaha yang digeluti. Tentang kemampuan melakukan orkestrasinya. Bukan lagi soal penguasaan sumberdaya. Hal yang selama ini selalu digadang-gadang sebagai keunggulan tak tertandingi (comparative advantage) bangsa-bangsa yang memiliki kekayaan sumberdaya alam seperti Indonesia. Sehingga value creation adalah tentang eksplorasi. Soal pengembangan manfaat dan nilai tambah dari sumberdaya yang ada. Bukan eksploitasi.
“Value creation” senantiasa berkutat pada peluang inovasi yang dimungkinkan dari sebuah kumpulan yang besar (crowd). Tak lagi semata soal sistem-rantai-nilai (value chain) yang selama ini diidolakan perusahaan untuk mengukuhkan peran dan keunggulannya. Tapi justru mengenai kolaborasi. Tentang kerjasama yang dibangun untuk menggarap berbagai peluang yang membentang pada basis konsumen yang dikuasai.
Kini, teknologi digital dan internet telah membuat kita dengan mudah terhubung satu dengan lainnya. Get connected. Maka perkembangan dari jejaring (networking) — dan menjadi bagiannya — adalah hal yang paling penting. Bukan lagi soal konglomerasi atau stand alone business.
Semua itulah yang berimplikasi terhadap cara pandang pembiayan bisnis masa kini. Tak lagi semata mengandalkan hutang sehingga rumusan neraca keuangan yang menggambarkan nilai asset sebagai cerminan liabilities (kewajiban, hutang) dan modal yang dikuasai, tak sepenuhnya relevan. Itulah sebabnya tingkat korelasi antara “nilai buku” dan “nilai pasar” pada bisnis-bisnis yang berkembang pesat di masa kini, menjadi semakin rendah. Hal yang menjelaskan mengapa nilai buku yang tercermin melalui laporan keuangan, tak lagi menjadi penentu tunggal nilai saham perusahaan di pasar permodalan.
Value creation sesungguhnya filosofi utama yang paling mendasar dari disiplin ilmu planologi. Hal yang sejatinya menjadi latar belakang sekaligus alasan utama tentang perlunya suatu ruang ditata dan dikelola. Agar mampu mengorkestrasi peluang pengembangan dan inovasi manusia dan segala aktifitas yang berlangsung di dalamnya. Hal yang selalu diwakilkan melalui 2 kata sakti yang dikenalkan kepada setiap mahasiswa yang mempelajari ilmu tersebut sejak hari pertama: menyeluruh dan terpadu (comprehensive and integrated).
Kedua kata itu kemudian justru sering “dilecehkan” laksana ungkapan langitan semata. Sekedar keindahan kata yang dalam kenyataannya di lapangan sering tak digubris atau terabaikan. Sebab, suatu perencanaan tata ruang acap mengabaikan formulasi indikator kinerja yang mencerminkan pencapaian tujuannya yang ingin “menyeluruh” dan “terpadu” tadi.
Permakluman terhadap “keteledoran” itu, dapat dipahami ketika kita masih berada di era teknologi analog dan internet belum ditemukan. Sebelum revolusi industri 4.0 yang sedang berlangsung hari ini. Hal yang semestinya kini menjadi pencerah bagi ilmuwan dan pakar disiplin ilmu keplanologian untuk mengukuhkan keberadaannya yang selama ini mungkin terbengkalai.
Meskipun keputusan investasi hari ini, tak lagi sepenuhnya bersandar pada laporan keuangan — akibat dari ketidak mampuannya menyajikan intangible value yang terkandung di dalam bisnis yang diwakilinya — konsepsi formula neraca terhadap “value creation” itu pada dasarnya tetap dibutuhkan. Keberhasilan mewujudkan potensi dan peluang yang berada dibalik intangible value itu, pada akhirnya akan tercermin kembali dalam neraca keuangan di masa depan.
Begitu pula semestinya dalam pengembangan konsepsi “value creation” dalam tata ruang. Mestinya juga disertai dengan pengembangan pendekatan “neraca” yang mencerminkan nilai-nilai yang tergabung dalam ruang tersebut. Sesuatu yang kemudian dapat dievaluasi ketaatan dan pencapaiannya pada tangan pihak yang diamanahkan dan berwenang untuk mengimplementasikan.
Bukankah sebuah rencana tak ada gunanya jika tak dimanfaatkan sebagai panduan pengelola suatu ruang kota atau wilayah dalam melakukan kegiatan sehari-hari mereka?
Tapi pada saat yang sama, seharusnya manfaat dan keisitimewaan dari rencana yang telah disusun dan disepakati itu, juga dapat dievaluasi kebenaran, kewajaran, dan kehandalannya untuk direalisasikan. Dengan kata lain, perumusan pertanggung jawaban dan akuntabilitas profesi terhadap produk perencanaan yang dihasilkannya, perlu dan harus disiapkan juga.
Disiplin ilmu planologi mungkin sudah saatnya mulai memikirkan wacana pembentukan lembaga seperti BPK (badan pengawas keuangan) yang bertugas khusus untuk mengaudit akuntabilitas aspek keruangan. Mulai dari produk rencana yang diundangkan hingga kepatuhan dan kehandalan realisasinya.
Value creation yang menjadi fenomena investasi dan pengembangan usaha hari ini, pada dasarnya,tetap berlangsung dalam suatu ruang tiga dimensi. Betapapun mayanya.
Jilal Mardhani, 14 Agustus 2019
Tulisan ini pernah di publish dalam Catatan Planologi pada media Facebook
OTORITERISME GANJIL-GENAP
Jilal Mardhani, 15/11/24, 15:35 WIB
Ketika Majalah Tempo edisi 22 September 2018 yang memuat soal “Ganjil-Genap” terbit, saya langsung protes kepada salah satu pemimpin mereka. Sebab, berita yg disampaikan sangat sembrono karena hanya berdasarkan informasi sepihak.
Katanya, “Penerapan aturan nomor yang disesuaikan dengan tanggal di ruas-ruas tertentu di Jakarta ini BERHASIL mengurangi kemacetan dan mengurangi polusi udara. Jakarta bisa bernapas dari kepungan asap kenalpot setelah aturan ini diterapkan.”
Kesimpulan itu jelas sangat sembrono. Seandainya pun angka-angka yang lebih menyerupai “pesanan” instansi tertentu di sana benar — penumpang busway naik 40% atau menjadi 1,1 juta per hari sedangkan KRL naik 23% jadi 590 ribu per hari — jelas tak berarti apapun terhadap jumlah perjalanan masyarakat Jobodetabek yang setiap hari berlalu-lalang.
Coba bayangkan, berapa perjalanan yang terjadi jika di kota metropolitan itu terdapat 13,6 juta sepeda motor dan 3,7 mobil yang dimiliki warganya?
Hari ini, jumlah perjalanan yang menggunakan kendaraan bermotor di Metropolitan Jakarta setiap hari, diperkirakan lebih dari 50 juta. Seandainya jumlah penumpang Busway dan KRL yang diberitakan Tempo itu benar — berdasarkan statistik penumpang Transjakarta yg ada, saya pribadi meragukannya — kontribusi kedua angkutan massal umum tersebut tak sampai 3,5 persen. Seandainya jumlah penumpang Metromini, Kopaja, dan angkutan kota dimasukkan pun, jumlah perjalanan yang dilayani tak mungkin mencapai 10 persen. Lalu, dari mana data yang mampu mendukung pernyataan soal pengurangan kemacetan dan polusi udara itu?
Dalam hal kebijakan transportasi perkotaan Jakarta dan sekitarnya, sikap penguasa kerap terlihat semena-mena dan berlebihan. Patut disesalkan, Tempo yang biasanya tampil akurat, tidak partisan, dan melandaskan liputan pada fakta lapangan yang aktual dan terpercaya, tak mampu “melihatnya” dengan jernih.
Kebijakan kontroversial soal Ganjil-Genap yang berlaku sejak jam 6:00 hingga 21:00 itu, bermula saat kita menggelar hajat Asian Games 2018 kemarin. Demi menjamin waktu tempuh atlit, dari penginapan ke stadion pertandingan, tak akan lebih dari 30 menit. Sebagaimana yang dipersyaratkan panitia. Kebijakan ganjil-genap yang sembarangan dan berlebihan itu, sesungguhnya tak didukung data-data yang dapat dipertanggung jawabkan. Sebab, untuk mengatakannya sebagai “pilihan” terbaik, mestinya dibutuhkan alternatif lain yang digunakan sebagai pembanding. Hal yang tidak pernah diungkapkan karena memang tak pernah difikirkan. Sebab gagasan Ganjil-Genap itu adalah satu-satunya yang mereka miliki.
Dengan kata lain, kebijakan tersebut sangat kental dilatar belakangi nuansa “otoriterisme”, pemaksaan kehendak, dan monopoli kebenaran.
Lalu mengapa pihak yang berkuasa nekad melakukannya?
Pertama, mungkin karena alasan untuk mensukseskan Asian Games 2018 kemarin. Sebagai hajatan internasional dimana kita menjadi tuan rumah, meminta pengorbanan sebagian “kecil” masyarakat untuk kepentingan yang lebih “besar”, tentu bisa dimaklumi.
Tapi mengapa dikatakan kebijakan tersebut hanya berdampak langsung pada sebagian “kecil”?
Sebab, perjalanan yang dilakukan dengan menggunakan mobil pribadi — moda kendaraan yang jadi sasaran utama kebijakan ganjil genap itu — hanya 15 persen dari keseluruhan.
Jika membandingkan jumlah kendaraan sepeda motor dan mobil yang disampaikan di atas saja, sudah terlihat jika keduanya berbanding 4:1. Maka jika Anda memperhitungkan 2 juta saja dari sepeda motor tersebut adalah kendaraan angkutan online — dengan jumlah perjalanan pelanggan per hari rata-rata 12 saja — maka perbandingan 7:1 untuk lalu lintas sepeda motor dengan mobil, adalah hal yang sangat masuk akal.
Jadi, kemungkinan alasan kedua mereka didasari pertimbangan “statistika sosial” itu. Sebab, jika para pengendara mobil protes, kemungkinan mereka akan dicibir — bahkan disikapi sinis — terutama oleh para pengguna sepeda motor yang merupakan populasi terbesar dan tidak terdampak kebijakan ganjil-genap tersebut.
Sebetulnya, jumlah pengguna mobil pribadi di Metropolitan Jakarta yang jengkel terhadap kebijakan tersebut, cukup banyak. Walaupun mungkin tak berarti jika dibandingkan jumlah yang menggunakan moda lainnya. Terutama sepeda motor.
Itu sebab, pernah beredar kabar upaya untuk mengajukan tuntutan hukum akibat kerugian yang dirasakan sebagian diantara mereka. Kebijakan sembrono itu, tentu menjengkelkan pemilik mobil pribadi, karena mereka telah membayar pajak kendaraan untuk digunakan setahun penuh. Bukan 50% nya seperti yang terjadi setelah ganjil-genap diterapkan.
Maksud utama yang ingin dicapai melalui kebijakan ganjil-genap, adalah mengubah kebiasaan pengguna kendaraan mobil pribadi ke angkutan umum massal. Kebijakan tersebut tidak menjangkau pengguna sepeda motor.
Tapi, persoalan menggunakan angkutan massal umum bukan semata perjalanan dari satu stasiun/halte ke stasiun/halte lain. Kemudahan, keamanan, dan kenyamanan mereka untuk menjangkau stasiun/halte terdekat (first mile) — sebagaimana juga perjalanan lanjutan hingga tujuan akhir perjalanannya (last mile) — juga perlu dipenuhi.
Tanpa semua itu, tentu mereka enggan beralih. Seandainya pun terhambat oleh kebijakan ganjil-genap itu, dengan kualitas pelayanan sistem angkutan umum dari asal ke tujuan perjalanan yang sedemikian buruk sekarang ini, kemungkinan besar mereka justru beralih ke moda sepeda motor. Termasuk menggunakan jasa angkutan online yg saat ini telah berkembang luas dan sangat populer di tengah masyarakat.
Jadi, sebetulnya masih terlalu banyak pekerjaan rumah untuk mensukseskan penggunaan angkutan massal umum di Jakarta. Di atas segalanya, hal yang tak kalah penting adalah kebijakan yang membatasi — atau setidaknya menertibkan —lalu lintas sepeda motor.
Sebab, sebagian (besar) kemacetan, sesungguhnya dikarenakan kehadiran mereka di jalan-jalan raya yang tidak, atau belum pernah, diatur maupun dikelola secara memadai.
Kesemena-menaan tersebut justru semakin terlihat ketika pemerintah DKI Jakarta, mencanangkan peningkatan sebesar Rp 10 triliun menjadi Rp 87,3 triliun pada APBD 2019 mendatang (Koran Tempo, 11 Oktober 2018).
Sebesar Rp 44,2 triliun dari RAPBD tersebut, bersumber dari pajak daerah yang diantaranya disumbang oleh kepemilikan kendaraan bermotor. Mereka justru meningkatkan target pendapatan dari pajak kendaraan bermotor hingga 16 persen atau menjadi Rp 9,3 triliun.
Pertanyaannya, dari manakah dasar perhitungan untuk menaikkan pendapatan yang bersumber dari kendaraan bermotor itu?
Kemungkinan pertama tentu dari peningkatan jumlah kendaraan baru yang akan beredar di ibukota RI itu sendiri. Kemungkinan yang lain adalah dari kenaikan tarif pajak yg diberlakukan.
Bukankah kedua kemungkinan upaya utk menaikkan pendapatan pajak kendaraan bermotor itu, bertentangan dengan maksud utama dari memaksakan pemberlakuan kebijakan ganjil-genap yang telah diperpanjang hingga 31 Desember 2018, melalui Keputusan Gubernur 106/2018 yang baru terbit? (https://m.cnnindonesia.com/.../kebijakan-ganjil-genap...).
Keputusan perpanjangan ketentuan ganjil-genap tersebut, memang ditetap melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta. Tapi diduga kuat, bisikan “saran dan pertimbangan”-nya bersumber dari Badan Pengelola Tranportasi Jabodetabek (BPTJ). Lembaga itu sendiri sesungguhnya berada di bawah supervisi langsung Kementerian Perhubungan.
Adakah BPTJ sengaja “menjerumuskan” Gubernur DKI?
Atau mungkin mereka memang tak mengerti konsekuensi rekomendasi yang disampaikan?
Atau mungkin juga Gubernur DKI sendiri yang berinisiatif meneruskan kebijakan ganjil-genap itu, apapun resikonya?
Atau mungkin terjadi konspirasi diantara mereka untuk mengesankan “otoriterisme” penguasa terhadap masyarakat yang hari ini diterpa kebingungan atas berbagai situasi yang berkembang dinamis?
Keinginan untuk menghadirkan sistem transportasi kota yang handal dan mampu mendukung seluruh aktifitas warganya secara berkeadilan, adalah cita-cita luhur yang semestinya. Akan tetapi, berbagai kegagalan Negara untuk memenuhinya sesuai dengan kaidah yang berlaku selama ini, tak bisa dinafikan begitu saja. Bahwa ketidak mampuan itu telah menyebabkan masyarakat mencari dan menemukan caranya sendiri — dalam hal ini melalui pemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi mobil maupun sepeda motor — sepatutnya dipahami sebagai hutang kegagalan yang harus dilunasi terlebih dahulu.
Bangun dan sediakanlah lebih dulu prasarana dan sarana yang semestinya. Baru setelahnya pantas melakukan upaya-upaya pembatasan maupun pengerahan. Tanpa itu semua, berarti kesemena-menaan. Kemampuan kekuasaan “kampungan” yang sesungguhnya semakin kehilangan peran di tengah revolusi digital yang sedang berkembang pesat hari ini. Hal yang sudah terbukti melalui berbagai disrupsi tatanan konvensional yang kini terjadi di sana-sini.
Jilal Mardhani, 14 Oktober 2018
Tulisan ini pernah di publish dalam Catatan Planologi pada media Facebook
INFOGRAFIS
VIDEO
ALBUM FOTO
DISKUSI