hide
Kabar Neraca Ruang

KABAR

Seruan Salemba Kedua Bebaskan Indonesia dari Gelap

Seruan Salemba Kedua Bebaskan Indonesia dari Gelap

Ikatan Alumni STF Driyarkara, 28/02/25, 15:22 WIB

Selamat Jalan Mba Irna Gustiawati

Selamat Jalan Mba Irna Gustiawati

Neraca Ruang, 31/10/24, 11:58 WIB

Mundurnya Petinggi OIKN

Mundurnya Petinggi OIKN

Nelly Agustina, 07/06/24, 17:09 WIB

Jurnal Necara Ruang

JURNAL

Valentine Ini, Ganesha Menangis

Valentine Ini, Ganesha Menangis

Jilal Mardhani, 14/02/25, 15:00 WIB

"Sebagai alumni, saya memang pernah diminta -- lalu bersedia -- mencantumkan nama pribadi pada sebuah petisi untuk menyatakan penolakan terhadap Din Syamsuddin. Saat yang bersangkutan 'dicalonkan' menjadi anggota Majelis Wali Amanat, ITB, beberapa waktu lalu.

Faktanya, beliau kemudian terpilih.

Menyatakan pendapat adalah hak pribadi siapa saja. Bahwa kemudian tidak digubris atau kalah suara, adalah satu hal. Jika kemudian yang berlaku, berbeda dengan keberatan yang disampaikan, maka adalah hal lain. Sebagaimana ketika Joko Widodo dan pasangan yang mendampinginya, terpilih memimpin Indonesia tempo hari. Padahal hampir setengah pemilih, tak menghendaki mereka. Tapi sebagai masyarakat yang beradab, menghormati proses demokrasi, dan mematuhi hukum yang berlaku, semua pihak mesti menerima kenyataan tersebut.

Hal yang sangat mengecewakan pada sebagian masyarakat berpendidikan yang mengaku sebagai alumni ITB, nama saya kemudian berulang kali mereka catut. Dilekatkan pada dokumen untuk menyatakan tuntutan. Agar Din Syamsuddin dicopot dari kedudukannya pada Majelis Wali Amanat (MWA-ITB).

Hal itu sungguh tak pantas, menyedihkan, sekaligus memalukan. Apalagi, pada dokumen Siaran Pers tanggal 16 Juli 2020 yang salinannya saya peroleh, ada nama-nama yang sudah tak dicantumkan lagi di sana. Padahal pada dokumen sejenis yang beredar sebelumnya, dan juga tak pernah saya setujui itu, sosok yang kini bekerja di lingkungan Istana Kepresidenan tersebut, namanya masih ada.

Jika penyusun Siaran Pers yang membajak nama saya di sana, bisa melakukan konfirmasi kepada sang pejabat sehingga namanya tak ikut dicantumkan lagi, mengapa hal yang sama tak dilakukan juga kepada diri saya atau yang lain?

Saya menolak Din Syamsuddin ketika akan dicalonkan menjadi anggota Majelis Wali Amanat. Tapi saya tidak pernah dihubungi -- apalagi memberikan persetujuan -- terhadap pernyataan yang meminta MWA ITB dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk segera memberhentikan Prof.Dr. M. Din Syamsuddin sebagai anggota MWA ITB."

 

Narasi di atas, pernah saya sampaikan pada tanggal 24 Juli 2020. Hampir 7 bulan lalu. Diletakkan pada bagian awal tulisan yang berjudul, "Syarif Hidayat dan Ventilator Indonesia".

(lihat https://m.facebook.com/story.php...)

Salah seorang yang mengaku tergabung dengan kelompok alumni yang mencatut nama saya di sana, berkomentar. Bahwa pencantuman yang mereka lakukan telah berdasarkan konfirmasi. Baik secara individual maupun berkelompok. Berdasarkan tahun angkatan saat kuliah atau jurusan masing-masing.

Tentu penjelasan atau sanggahan tersebut tak dapat saya terima. Karena memang tak pernah menyampaikan konfirmasi apapun, kepada siapa pun. Soal persetujuan terhadap isi surat terbuka mereka. Apalagi mengizinkan pencantuman nama saya di sana.

Tapi karena yang bersangkutan mengatakan bahwa sudah memberitahukan teman-temannya yang lain, agar mencabut nama saya pada surat terbuka atau press release itu, saya pun menganggapnya selesai.

Bagaimana pun, mengingat latar belakang pendidikan dan kesamaan almamater kami, saya berasumsi mereka menyadari kesalahan fatal yang memalukan dan tak bermartabat yang telah dilakukannya. Lalu segera memperbaiki jika ada nama-nama lain yang juga mereka catut di sana.

 

Belakangan ini, kelompok alumni yang menyebut diri sebagai Gerakan Anti Radikalisme - Alumni Institut Teknologi Bandung itu, kembali mengundang perhatian. Terkait laporan yang mereka sampaikan kepada KASN. Soal pelanggaran etik terkait dugaan radikalisme yang dilakukan Prof. Din Syamsuddin. Karena yang bersangkutan masih berstatus ASN dan menjadi staf pengajar FISIP, UIN, Jakarta.

Bagi saya, hal yang lebih penting bukan soal lapoan yang mereka sampaikan. Tapi tentang sejumlah nama yang tercantum di sana dan menyebar luas melalui pemberitaan media massa.

Saya kemudian menelisik nama-nama itu. Karena sebagian merupakan teman-teman yang memang saya hubungi untuk turut serta menanda-tangani petisi menolak pemilihan Din Syamsuddin sebagai bagian Majelis Wali Amanat ITB dulu.

Apakah mereka memang menyetujui tudingan terhadap Prof. Din Syamsuddin yang dilaporkan kelompok alumni ITB kepada KASN itu, lalu mengizinkan namanya turut dicantumkan di sana?

Saya kemudian menghubungi satu per satu. Juga meneruskan tautan berita yang melampirkan laporan yang memuat nama mereka.

Dari 7 rekan yang saya hubungi, 6 di antaranya terkejut dan meradang karena tak menyangka nama mereka dicatut di sana. Sementara 1 lainnya, hingga saat tulisan ini dibuat, belum sempat membaca pesan yang saya kirimkan.

 

Saya sungguh sangat kecewa mendapatkan kenyataan tersebut. Tidak pernah menyangka jika mereka demikian tak beretika sehingga begitu mudah menyepelekan pengalaman atas protes yang saya sampaikan hampir 7 bulan lalu itu.

Apakah mereka sudah demikian jumawa terhadap hal yang diyakini, sehingga beranggapan nama-nama yang secara tak beradab dilekatkan di sana, tak akan keberatan dan begitu saja akan memakluminya?

Ini persoalan adat-istiadat yang absurditasnya jauh lebih radikal. Saya tak mampu membayangkan, kekacauan dan kehancuran seperti apa yang bakal terjadi, pada lingkungan yang ditempati alumni-alumni ITB yang berkualitas moral demikian.

Soal pencatutan nama teman sejawat secara serampangan dan tak senonoh ini -- apalagi oleh sekelompok alumni yang sering mengaku diri sebagai putra dan putri terbaik Indonesia -- patut diduga sebagai tanda-tanda serius kesemerawutan bangsa kita.


Mardhani, Jilal -- 14 Februari 2021

Tulisan ini pernah di publish dalam akun Jilal Mardhani pada media Facebook hampir 5 tahun yang lalu

Baca
DILANS Membutuhkan Banyak RT Seperti Riang

DILANS Membutuhkan Banyak RT Seperti Riang

Jilal Mardhani, 03/02/25, 22:13 WIB

Riang, salah seorang ketua RT di kawasan Pluit, menyuarakan protes soal pencaplokan fasilitas umum -- trotoar dan saluran air -- oleh ruko-ruko di jl. Niaga.

Protesnya bukan baru disampaikan kemarin sore. Tapi sudah berlangsung selama 4 tahun belakangan. Hingga akhirnya petugas ketertiban DKI Jakarta mengultimatum para pemilik maupun penghuni ruko-ruko tersebut. Agar secara sukarela dan mandiri, membongkar ruang dan fasilitas publik yang mereka serobot kembali seperti semula dan semestinya.

Karena himbauan sekaligus peringatan tersebut tak diindahkan hingga batas yang diberikan, sejumlah petugas kemudian melakukan pembongkaran. Pada fasilitas trotoar dan saluran air yang telah diserobot ruko-ruko tersebut.

Lalu terjadilah fenomena menarik. Ketika serombongan masyarakat yang menyebut diri bagian dari UMKM yg selama ini mencari nafkah di sana, mengajukan protes keberatan. Alasannya karena mengganggu nafkah sehari-hari mereka.

Cerita saling protes, menyusul langkah pembongkaran oleh aparat pemda DKI Jakarta yang berdasarkan ketentuan tataruang kota, memang sudah semestinya itu, terus berlanjut. Sesuatu yang semakin membuktikan, betapa rendahnya literasi masyarakat di sana tentang ruang dan fasilitas publik. Hal yang semestinya justru perlu mereka jaga dan pelihara bersama. Tak terkecuali para pedagang kecil dan UMKM seperti yang melakukan aksi unjuk rasa kepada RT Riang di Pluit.

Kemiskinan tak boleh jadi alasan untuk dikecualikan dari ketentuan hukum yang sejatinya melindungi kepentingan publik luas.

Maka sikap, langkah, dan aksi pak RT Riang memperjuangkannya -- konon sudah dia lakukan selama 4 tahun belakangan -- patut belaka kita dukung.

Indonesia membutuhkan lebih banyak ketua RT seperti Riang. Apalagi bagi Farhan dan kawan-kawan yang setahun belakangan ini tak pernah jemu menyuarakan hal serupa. Sebagaimana bisa kita saksikan dari belasan, mungkin puluhan, video yang kerap ditayangkan lewat akun media sosial mereka.

Farhan, pegiat Dilans Indonesia (difable dan lansia), tak pernah jemu menyuarakan hal serupa. Soal ruang dan fasilitas publik yang tak terurus dan tak diperlakukan sebagaimana mestinya. Mereka menunggu kesadaran pak RT lain di berbagai kawasan bermasalah yg pernah 'diinspeksinya'. Agar bersuara, bersikap, dan memperjuangkan ruang, fasilitas, maupun pelayanan publik, seperti yang dilakukan pak RT Riang di Jakarta Utara.

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada "Tour De Sumur Bandung Bersama Ketua DPRD Kota Bandung"


Mardhani, Jilal -- 30 Mei 2023

Tulisan ini pernah di publish dalam akun Jilal Mardhani pada media Facebook

 



Baca
KEPADA DEE LESTARI

KEPADA DEE LESTARI

Jilal Mardhani, 24/01/25, 14:00 WIB

-- menanggapi tulisan pada blog pribadinya, 'Menjelaskan Air Mata' (28 Maret 2023) terkait catatan saya yang berjudul, 'SMI yang Membiarkan Kedunguan #1' (26 Maret 2023)

Mbak Dee,

Pertama -- saya harus akui kekeliruan pada tulisan sebelumnya. Ketentuan 40% dari pendapatan kotor royalti memang bukan NPPN (norma penghitungan penghasilan neto). Tepatnya adalah 'dasar pengenaan pajak'.

Jika disederhanakan, PPh 23 atas royalti seolah memang turun dari 15 ke 6 persen. Tapi sebenarnya tetap 15 persen dengan ketentuan dasar penghitungan 40% dari nilai kotor royalti yang diterimakan. Meski demikian, istilah NPPN yang sebelumnya disampaikan untuk 'dasar pengenaan pajak' itu, memang keliruan saya.

Saya bukan ahli perpajakan. Keadaanlah yang memaksa saya untuk mempelajari ketentuan-ketentuannya yang njelimet itu. Sebab saya, seperti juga umumnya warga negara lain, termasuk mbak Dee, adalah pembayar pajak.

Seorang rekan dari kalangan seni seperti mbak Dee, melontarkan pertanyaan tadi malam,

"Adakah yang tahu manfaat menjadi pembayar pajak teladan? Adakah kemudahan-kemudahan yang diberikan sebagai pembayar pajak yang setia? Barang kali teman-teman ada yg tahu."

Begini jawaban saya,

"Dalam hal ini, sebagai pembayar pajak, baiknya menganut apa yg dikatakan JFK, saja: Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country."

* * *

Tentu wajar jika kita ingin mengetahui setiap yang dibayarkan. Mengapa, untuk apa, bahkan berapa. Dalam hal pajak, dengan segala drama penyalah-gunaan dan penyelewengannya, saya memang kerap terjebak antara pilihan 'ikhlas' dan 'terpaksa'.

Saya memaklumi ketentuan restitusi yang ada. Tapi pengalaman puluhan tahun membuktikan hal tersebut tak mudah dilakukan. Karena sebagai pembayar pajak, saya -- sebagaimana juga mayoritas warga lainnya -- memang tak ahli dan mudah memahami aturan-aturannya.

Kedua, masih sebagai pembayar pajak, patut belaka jika kita mengharapkan pelayanan yang memadai atas yang dibayarkan. Teknologi yang kini semakin memudahkan, memungkinkan pemerintah memperbaiki dan terus menyempurnakan sistem administrasinya. Tapi mengapa soal lebih dan kurangnya besaran pajak yang harus kita bayar, masih saja ditangani dengan tata cara yang begitu rumit? Seolah mereka tak melakukan apa-apa. Sementara kita yang membayar pelayanannya, malah diminta tunggang-langgang mengurus penagihan kelebihan yang terlanjur dibayarkan.

Contoh yang saya sampaikan sebelumnya menggambarkan posisi tawar yang rendah jika terdapat kelebihan pada pajak yang kita bayarkan. Katakanlah dengan fasilitas tersedia sebagaimana yang mbak Dee tulis di blog itu. Bagi yang penghasilan royaltinya 'cuma' Rp 50 juta -- tanpa sumber pemasukan lainnya -- berapa besar lagi pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk mengurus hal tersebut?

Bahkan jika penghasilan royalti kotor yang diterima dalam setahun 'hanya Rp 108 juta'. Pemilik hak cipta bersangkutan sesungguhnya telah dijamin undang-undang, tak memiliki tunggakan kewajiban pajak. Itupun kalau dia belum berkeluarga dan tak memiliki tanggungan. Bayangkan jika sudah menikah dan memiliki 3 anak kecil yang masih jadi tanggungannya. Berarti besaran penghasilan yang sesuai ketentuan tak bakal dikenakan pajak (PTKP), adalah Rp 72 juta. Artinya, dengan NPPN 50% yang berlaku, pendapatan royalti bersangkutan hingga Rp 144 juta, tak termasuk dalam golongan yang wajib membayar pajak penghasilan.

Ketentuan 'dasar pengenaan pajak' baru atas royalti yang menyebabkan mbak Dee menangis terharu kemarin, memang lebih meringankan dibanding sebelumnya. Bagi pemilik karya yang sudah menikah dengan tanggungan 3 anak sebagaimana dicontohkan di atas -- seandainya royalti kotor yang dia terima Rp 144 juta -- maka penerbit 'hanya' meemungutkan PPh pasal 23 sebesar Rp 8.640.000. Betul, jumlah itu lebih kecil dibanding Rp 21,6 juta ketika 'dasar pengenaan pajak'-nya masih 100 persen.

Tapi, Rp 8.640.000 PPh 23 yang dipotong itu, sesungguhnya hak yang bisa digunakan untuk menopang biaya kehidupannya sehari-hari. Royalti Rp 144 juta tersebut, sama dengan rata-rata penghasilan Rp 12 juta per bulan, bukan?

Jumlah yang sebetulnya tak seberapa untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya hari ini. Mereka pun tak menerima tunjangan hari raya, kesehatan, asuransi, dan lain-lain, seperti juga mbak Dee.

Jadi, andai perpajakan kita sungguh-sungguh ingin berpihak kepada penulis buku maupun penulis lagu seperti mbak Dee, mengapa 'dasar pengenaan pajak'-nya tak di 0% kan saja? Toh, pada akhirnya harus mengisi SPT dan menyelesaikan PPh pasal 29 di akhir Maret tahun berikutnya?

Itulah sebabnya saya menyebut Sri Mulyani Indrawati melakukan 'pembiaran kedunguan'. Sebab mereka terlalu sering sesumbar dengan pembenahan sistem informasi dan database. Bahkan ketika nomor induk kependudukan kita, katanya sudah disinkronisasikan dengan nomor pokok wajib pajak. Jika demikian, apa sulitnya mengadministrasikan pembayaran royalti yang dilakukan penerbit kepada para penulis buku atau lagu?

Di era chatGPT sekarang, sungguh tak masuk akal jika kita belum sanggup melakukan hal di atas. Bahkan semestinya, sistem perpajakan yang ada harus sudah mampu melacak progress royalti yang diserahkan penerbit dan diterima pemilik hak karya. Toh masing-masing pihak memiliki organisasi yang menaungi dan bisa dimintakan kerjasamanya?

Kemampuan mengembangkan sistem pelacakan progress penghasilan royalti tersebut, juga bermanfaat bagi pelaku profesi lain yang bekerja lepas dan menggunakan fasilitas NPPN. Agar mereka tak lagi terus-menerus 'terjerembab' di tengah sengketa kebijakan 'self assessment' dan 'withholding' dalam sistem perpajakan kita. Hal yang berpangkal dari kebijakan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) yang masih saja menganut konsep 'sama rata sama rasa' layaknya komunisme. Sebab penuis bujangan tanpa tanggungan yang tinggal di kaki Gunung Sibayak sana, sama-sama punya jatah terbebas dari pajak sebesar Rp 54 juta, dengan yang hidup di tengah hiruk-pikuk Jakarta, misalnya.

Di sanalah esensi tulisan yang saya sampaikan kemarin. Sekali lagi, maaf atas kekeliruan istilah NPPN yang mestinya DPP (dasar pengenaan pajak) itu. Hal yang memang tak cukup ditegaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2023 tanggal 16 Maret 2023 kemarin.

 


Mardhani, Jilal -- 29 Maret 2023

Tulisan ini pernah di publish dalam akun Jilal Mardhani pada media Facebook

Baca
Infografis Neraca Ruang

INFOGRAFIS

Video Neraca Ruang

VIDEO

Album Foto Neraca Ruang

ALBUM FOTO

Kota Kita di 2045

Neraca Ruang, 02/02/24, 08:00 WIB

Arisan 6301: Perencanaan Skenario

Neraca Ruang, 18/07/23, 09:06 WIB

Arisan 6301: Pariwisata Nusantara

Neraca Ruang, 25/05/23, 06:30 WIB

Diskusi Neraca Ruang

DISKUSI

Loading...