hide
Kabar Neraca Ruang

KABAR

Mundurnya Petinggi OIKN

Mundurnya Petinggi OIKN

Nelly Agustina, 07/06/24, 17:09 WIB

Siapa yang Menjelaskan Planologi kepada Presiden?

Siapa yang Menjelaskan Planologi kepada Presiden?

Jilal Mardhani, 05/06/24, 11:25 WIB

Demak dan Pemberontakan dari Pesisir

Demak dan Pemberontakan dari Pesisir

Farid Gaban, 29/03/24, 10:49 WIB

Jurnal Necara Ruang

JURNAL

25 Tahun Reformasi Salah Asuhan: Nawacita dan Otonomi Kabupaten Cirebon

25 Tahun Reformasi Salah Asuhan: Nawacita dan Otonomi Kabupaten Cirebon

Jilal Mardhani, 12/05/23, 14:07 WIB

Sunjaya Purwadi Sastra. Perjalan hidupnya dramatis juga. Anak kuwu (kepala desa) yang sejak kecil hidup dan diasuh pembantu. Bahkan disusui. Dia 'dititipkan' karena kesibukan ibunya berorganisasi. Tapi tetap berhasil menamatkan kuliah D3 di UI meski hanya berbekal 'sangu' Rp 100 ribu dari ibu kandungnya yang iba. Dia pun mampu melanjutkan jenjang pendidikan di almamaternya hingga gelar master. Lalu meraih doktor dari IPDN, Sumedang.

Istrinya anak kolong. Putri tunggal purnawirawan TNI-AD yang sukses jadi importir beras. Sunjaya sendiri pernah memiliki karir militer dengan pangkat terakhir Letnan Satu. Dia ditempatkan pada satuan Korps Ajudan Jenderal.

Tahun 2008 dia pernah mencalonkan diri melalui jalur independen untuk menjadi Bupati Kabupaten Cirebon. Gagal. Lalu bergabung dan menjadi kader PDIP. Tahun 2013 akhirnya dia terpilih. Lewat proses pemilihan yang berlangsung 2 putaran. Ia berpasangan dengan H. Tasiya Soemadi Al Gotas yang kala itu menjabat sebagai ketua DPRD. Mereka kemudian dilantik Ahmad Heriyawan, Gubernur Jawa Barat saat itu, pada 13 Maret 2014.

25 Oktober 2018, sebelum masa tugasnya sebagai bupati Cirebon berakhir, dia tertangkap tangan oleh KPK. Gara-gara perkara korupsi jual-beli jabatan dan gratifikasi. Padahal beberapa bulan sebelumnya, KPU telah menetapkan dia sebagai bupati terpilih untuk yang kedua kali.

Berpasangan dengan Imron Rosyadi, Kepala Kantor Kementerian Agama, kabupaten Cirebon.

Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat harus tetap melantiknya. Walau hanya berumur 15 menit. Sebab, status terdakwa kasus suap menyebabkan yang bersangkutan mesti dinon-aktifkan.

Imran yang merupakan wakilnya kemudian ditunjuk sebagai pelaksana tugas.

Kebejatan Sunjaya rupanya bukan hanya soal peras-memeras terhadap pejabat di lingkungan pemerintahan daerahnya. Dia juga melakukan pemalakan kepada pengusaha yang mengajukan perizinan. Dalam sidang Tipikor di Bandung tanggal 5 Mei kemarin, saksi yang diajukan mengungkap pemerasan yang dilakukannya terhadap PT Cirebon Energi Prasarana yang menangani PLTU-2 Cirebon. Disebutkan bahwa dia tak puas ketika 'hanya' menerima Rp 1 milyar setelah 'membantu meluruskan' perizinan proyek strategis yang menjadi bagian Nawacita Joko Widodo saat terpilih tahun 2014 lalu. Sesuai regulasi pada pasal 19 ayat 4 huruf a Perda No 17 Tahun 2011 tentang Tata Ruang Wilayah Cirebon, izin yang perlu diterbitkan untuk proyek PLTU 2 ternyata bertabrakan alias tak sesuai.

Ketika masyarakat di sekitar lokasi proyek melakukan aksi penentangan, Sunjaya pun memanfaatkan untuk memuluskan aksi jahatnya. Konon, GM Hyundai Engineering and Construction Co. Ltd yang menjadi mitra PT Cirebon Energi Prasarana, akhirnya menyepakati 'fee and operation cost' sebesar Rp 10 miliar. Dari Rp 20 miliar yang semula diajukan. Agar Sunjaya membantu dan membereskan 'pengamanan' proyek mereka.

+++

PLTU-2 Cirebon, sebagaimana PLTU-1 yang dibangun sebelumnya, merupakan bagian dari rencana pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW yang dicanangkan Joko Widodo. Logikanya, hal yang dianggap stategis bagi upaya membangkitkan perekonomian Nasional tersebut, tentulah bakal memberi manfaat juga terhadap masyarakat dan kegiatan usaha di kabupaten Cirebon sendiri.

Fakta pemerasan yang dilakukan Sunjaya terhadap badan usaha yang mengupayakan PLTU-2 Cirebon di atas, menyatakan tegas tentang persoalan mendasar di baliknya. Yakni, selaku kepala daerah yang menjadi lokasi salah satu atau sebagian kecil pembangkit impian 35.000 MW listrik Nawacita Joko Widodo tersebut, Sunjaya tak menganggapnya penting dan strategis. Tingkah laku dan tabiat buruk bersangkutan memeras perusahaan itu, tak mencerminkan rasa syukur dan terima kasihnya atas kehadiran proyek pembangkit tersebut. Singkatnya, ada atau tidak ada

PLTU-2 Cirebon di sana, dianggap Sunjaya tak memberi manfaat dan keuntungan bagi mssyarakat maupun aktivitas usaha yang kemudian hari dharapkan mampu menambah sumber kekayaan daerah mereka.

Sunjaya mungkin beranggapan, pihak-pihak yang bakal diuntungkan bukanlah kabupaten Cirebon dan masyarakatnya. Sebab, jika demikian, tentulah warga di sana akan melakukan aksi yang sebaliknya. Seperti melakukan unjuk rasa agar PLTU-2 Cirebon segera dibangun. Bukan menentang kehadirannya.

Mungkin itulah sebabnya fikiran licik dan culas Sunjaya berkembang liar. Dia justru ingin mendapat manfaat pribadi dari mereka yang memperoleh 'keuntungan' atas proyek Nawacita itu. Bukan hanya perusahaan yang memenangkan tender dan persetujuan untuk mengembangkannya. Tapi juga pemerintah pusat yang memiliki wewenang dan kekuasaan atas kehadiran proyek pembangkit listrik itu.

Kasus ini merupakan contoh nyata dari ketimpangan kebijakan otonomi daerah yang menjadi salah satu agenda penting dan strategis Gerakan Reformasi 1998 lalu. Selama ini, kita hanya berkutat dalam soal kekuasaan politik otonomi daerah semata. Sama sekali, atau setidaknya hampir tak menyentuh, kebijakan-kebijakan yang mengupayakan otonomi fiskal daerah. Agar dapat lebih memberdayakan mereka berpartisipasi dalam pembangunan di daerahnya masing- masing.

Grafik pada ilustrasi yang dilampirkan di sini, sangat jitu menjelaskan potret Nawacita, Otonomi Daerah Kabupaten Cirebon, dan Sunjaya yang rakus.

Inilah pekerjaan rumah besar Indonesia hari ini. Membenahi kekeliruan dan kesalah-kaprahan politik pembangunan yang kemudian melahirkan aneka korupsi di badan-badan usaha negara seperti Waskita Karya. Aksi 'pahlawan serba bisa tapi tak mampu' yang dipamerkan Joko Widodo di Lampung. 'Pamer Sinterklas' bagi-bagi sertifikat tanah yang ternyata bodong seperti di Kabupaten Bogor kemarin. Dan seterusnya.

Baca
Kalau Pertamina Rp307 Triliun, Berapa Pula Sumbangan Daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Papua

Kalau Pertamina Rp307 Triliun, Berapa Pula Sumbangan Daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Papua

Jilal Mardhani, 20/01/23, 15:36 WIB

Semula, saya mengira penulis ringkasan yang disertakan pada video yang mewawancarai Direktur Keuangan Pertamina (Emma Sri Martini), keliru menarik kesimpulan. Apalagi dengan judul yang begitu bombastis, 'Model restrukturisasi Pertamina banyak diikuti'.

https://youtu.be/xVxyzdYKGlo

Ditambah pula dengan kutipan penjelasan sang direktur yang alumni ITB. Bahwa di tengah berbagai tantangan yang dihadapinya, sampai akhir 2022, BUMN tersebut masih bisa menyetor ke kas negara sebesar Rp 307 triliun.

Bener ga sih?

Tahun 2021, realisasi pendapatan pajak (audited) dalam negeri Republik Indonesia 'cuma' Rp 1.474 triliun. Setoran Pertamina itu, meski untuk tahun 2022 dan tak semuanya berupa pajak, nilainya lebih dari 20 persen.

Berapa sih penjualan mereka hingga bisa menyetor ke negara segede itu?

Berdasarkan laporan keuangan perseroan itu, tahun 2021 kemarin besarnya USD 39,3 miliar. Dengan kurs rata-rata yang berlaku di tahun tersebut, kurang lebih setara dengan Rp 570 triliun. Seandainya ditambah dengan penjualan ekspor, subsidi pemerintah, imbal jasa pemasaran, dan pendapatan usaha lain, nilainya 'cuma' USD 57,5 miliar atau setara Rp 834 triliun.

Siapa yang tak tercengang dan garuk-garuk kepala jika setahun setelahnya ada yang bilang, Pertamina menyetor ke kas negara Rp307 triliun?

Agar tak suudzon, saya simaklah video wawancara itu. Ternyata kutipan 'konyol' tersebut memang terucap di sana.

Menyesatkan sekali!

Angka Rp307 triliun yang disebutkan itu, amat sangat mungkin, termasuk PPN yang dikutipnya. Negara memang menyandangkan amanah WAPU (wajib pungut) kepada badan usaha pemerintah untuk memungut PPN (pajak pertambahan nilai) tersebut. Sementara kontributor terbesarnya tentulah masyarakat pembeli BBM yang diecer Pertamina. Sebab hampir 70% penjualan mereka memang berasal dari pos itu (2021: Rp 570 triliun dari Rp 834 triliun).

Harus dimaklumi kalau PPN yang menjadi bagian terbesar dari 'pengakuan' Rp 307 triliun yang disetor Pertamina ke kas negara, bukanlah termasuk kinerja mereka. Sebab kewajiban yang sama dengan jumlah berbeda-beda, juga dipikul WAPU yang lain. Sederhananya, negara menitipkan pemungutan kewajiban konsumen atas PPN.

Jadi, konsumen Pertamina-lah yang lebih patut dianggap sebagai penyetornya. Bukan mereka.

Atas usaha yang dilakukan, Pertamina memang menyumbang PPh (pajak penghasilan). Tahun 2021 bebannya atas hal tersebut tercatat sekitar Rp 25,5 triliun. Mereka juga membayar deviden Rp 4 triliun. Angka terendah yang dibukukan sejak 2009 yang masih mencatatkan Rp 10,5 triliun. Tahun 2017 malah sempat mencapai Rp 11,6 triliun.

Kekusutan 'melebih-lebihkan jasa' Pertamina yang katanya menyetor pendapatan ke kas negara hingga Rp 307 triliun itu, jadi semakin sempurna ketika sang Direktur Keuangan berupaya menjelaskan kelompok sumber-sumbernya. Entah dari mana caranya memahami, setoran deviden dan PNBP dianggapnya sebagai sumber yang masing-masing berdiri sendiri. Padahal, deviden BUMN (termasuk Pertamina) adalah bagian dari PNBP (pendapatan negara bukan pajak). Lainnya adalah PNBP yang bersumber dari pemberdayaan sumberdaya alam. Dalam bentuk royalti, iuran, retribusi, dan seterusnya. Lalu ada lagi Badan Layanan Umum dan lain-lain.

Jika begitu caranya BUMN Pertamina mematut diri di republik ini, bagaimana pula daerah-daerah yang tersebar di seluruh Nusantara?

Hingga hari ini, kebijakan perekonomian kita masih 'bertumpu' pada sumberdaya alam. Bukan sumberdaya manusia. Seperti tergambar dari UU Cipta Kerja dan berbagai kebijakan resentralisasi yang belakangan justru semakin marak. Jika daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang selama ini dieksploitasi melakukan hitung-hitungan serupa, berapa ribu triliun rupiah yang bakal mereka akui sebagai perannya terhadap setoran Negara?

Sebab, dari daerah-daerah penghasil sumberdaya alam itu, berapa banyak PNBP yang sebetulnya telah mereka setor ke negara? Belum lagi pajak-pajak penghasil yang terbangkitkan rantai bisnis eksploitasi sumberdaya mereka. Dan seterusnya. Jadi, kalau mau muja-muji dan mematut diri, mbok ya proporsional sajalah. Ga usah berlebihan, bro. Eh, teteh.

Terlalu.

Baca
Infografis Neraca Ruang

INFOGRAFIS

Video Neraca Ruang

VIDEO

Album Foto Neraca Ruang

ALBUM FOTO

Kota Kita di 2045

Neraca Ruang, 02/02/24, 08:00 WIB

Arisan 6301: Perencanaan Skenario

Neraca Ruang, 18/07/23, 09:06 WIB

Arisan 6301: Pariwisata Nusantara

Neraca Ruang, 25/05/23, 06:30 WIB

Diskusi Neraca Ruang

DISKUSI